Jumat, 02 Oktober 2009

Puskesmas Suradadi = Puskesmas yang UGDnya maju


Puskesmas Suradadi = Puskesmas yang UGDnya maju

((Ini bukan tulisan ilmiah, hanya gendhu-gendhu rasa untuk kalangan sendiri))

Katanya menurut standar yang baru, UGD adalah sebuah layanan kesehatan yang harus berada di depan dan kendaraan pembawa pasien tidak boleh parkir ke belakang lagi, tetapi harus langsung bisa berjalan kedepan memutar. Maka di Puskesmas Suradadi, UGD yang dulunya di belakang sekarang maju ke depan.
Standar pelayanan adalah patokan yang (akan selalu berubah) menurut kehendak kebutuhan orang yang dilayani, orang yang melayani, orang yang membuat standar, atau meniru sesuatu yang baik yang dilakukan orang lain, atau mengikuti cita2 dalam rangka untuk sebuah kebaikan. Memang begitulah manusia ingin selalu berubah yang lebih baik dan maju menurut jamannya.
Kadang kadang kita mengejek pendahulu2 kita yang sudah membuat standar atau semacam standar di masa lalu. Ini yang seharusnya tidak kita lakukan. Bahwa seseorang bercita, berpikir dan berbuat menurut jamannya. Pendahulu kita di masa lalu ada yang melakukan operasi dengan memukul kepala orang yang dioperasi supaya pingsan sehingga tidak dapat merasakan sakitnya operasi. Kalau sekarang kita lakukan seperti itu, bisa kita ganti dipukul oleh keluarganya. Kadang2 malah jaman lalu lebih berjaya dibanding dengan sekarang. Ini kita bandingkan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat pada jaman itu. Sebagai contoh adalah pendahulu kita dapat mendirikan tempat ibadah seperti candhi borobudur.
Puskesmas Tarub dan Slawi adalah puskesmas standar ukuran besar pada jamannya, ditiru untuk puskesmas Jatibogor sebagai puskesmas standar ukuran besar yang diperkecil sedikit. Puskesmas dengan satu sisi tempat pelayanan, dan sisi lain tempat administrasi dengan ditengahnya ada lontrong yang menyambung ke suatu aula di bagian belakang. Puskesmas kreasi Pak Hendry Harto, SKM adalah seperti Puskesmas Bumijawa, sisi satu sebagai tempat pelayanan, sisi lain ruang2 administrasi, ditengahnya aula besar, dapat digunakan untuk rapat ataupun untuk pekerjaan lain yang perlu ruang lebar. Puskesmas Penusupan, Puskesmas Bangungalih adalah puskesmas standard ukuran kecil untuk jamannya. Puskesmas pembantu Kebandingan Kedungbanteng adalah puskesmas pembantu standar ukuran besar menurut jamannya.
Puskesmas masa lalu dibangun sedikit demi sedikit alias ipil-ipil menurut kebutuhan pelayanan pada waktu itu. Mungkin waktu itu belum ada pemikiran ataupun skenario jangka panjang yang sekarang terkenalnya dengan visi, misi atau seandainya adapun masih sangat terbatas, yang penting bisa mencukupi kebutuhan pelayanan pada saat itu. Biasanya puskesmas didirikan dekat pasar. Ini kebiasaan bukan standar. Tapi kalau kemudian kita pikirkan lebih lanjut bahwa itu adalah strategi dalam mendekatkan jangkauan pelayanan kepada masyarakat oleh karena akses ke pasar mesti lebih bisa dijangkau oleh masyarakat sehingga secara otomatis orang yang menginginkan mendapatkan pelayanan kesehatan pada saat itu, dimana juga membutuhkan biaya, sudah sekaligus tercukupi dengan menjual ternak atau barang-barang yang dipunyai dirumah.
Prinsip itu kita tiru sekarang dengan mendirikan tempat pelayanan kesehatan di pinggir jalan raya untuk memudahkan jangkauan dan penjualan ternak atau barang2 di pasar diwakili dengan pendirian ATM sebagai sumber uang, yang ditempatkan bersama di dekat tempat pelayanan. Kalau begini, ternyata yang kita lakukan sekarang itu bukan suatu hal yang baru dan hebat, dan malah memang saya rasa kebanyakan hal di jaman sekarang ini lebih banyak meniru masa lalu, masa jaman kethoprak.
Kemudian kita mestinya harus berpikir sebelum membangun, (memang sudah dipikir). Apakah sesuai pembangunan yang kita lakukan sesuai yang dibutuhkan masyarakat, sesuai dengan gaya hidup kebiasaan atau malah sebaliknya mengganggu kenyamanan mereka dalam mendapatkan pelayanan. Rasa nyaman mereka mungkin tidak sama dengan rasa nyaman kita. Salah satu contoh adalah lantai keramik yang sebenarnya tidak cocok dengan lingkungan yang masih becek, benyek, jeblog. Pasien yang sakit dirawat di masa lalu dan mungkin juga sekarang masih, ditunggui oleh anggota semua anggota keluarga, bahkan tetangga satu RT atau RW. Mereka kepingin (berkeinginan) suasana tempat perawatan sebagai rumahnya sendiri, “idoh” atau bahkan muntah dilantai, itu biasa saja, nanti tinggal dicarikan abu dari dapur, ditutupkan, selesai. Kebiasaan kuno tersebut sekarang kita tiru dengan pembuatan ruang2 yang dikatakan ruang VIP, VVIP, pavilyun dan semacamnya, yang anggota keluarga bisa ikut menemani si sakit dalam satu rumah atau ruang yang pribadi.
Setelahnya kita juga harus berhitung, seberapa lama rentang waktu yang dibutuhkan untuk mengubah penampilan sebuah bangunan. Kalau sebuah pembangunan semudah kita menggambar sketsa atau semudah anak2 kita main buat rumah2an, tidak begitu bermasalah dengan masyarakat, tetapi sewaktu kita dihadapkan dengan pembiayaan yang pas2an, krisis ekonomi, perubahan harga dan harus bersangkutan dengan orang lain dengan tata cara yang diatur njlimet dengan persetujuan wakil rakyat, aturan tender dan lain2 (dalam rangka pemerataan pendapatan), kita harus berpikir ulang tentang untung rugi. Untung rugi sebuah tempat pelayanan yang ditutup, berapa pendapatan yang hilang begitu saja. Terus yang lain adalah ruginya mendapatkan cap tidak bisa merancang dengan baik, atau yang lainnya lagi adalah seolah2 mengisyaratkan ketidakmampuan pemerintah. Nenek moyang telah berpesan aja kegedhen empyak kurang cagak. Kalau ternyata kita bersama tidak bisa menghitung dengan baik, mendhing kita mencari orang tua (konsultan) yang bisa menghitung dengan tepat dan baik. Tetapi standar aturan tidak menyuruh begitu, priben jal?
Dua tahun untuk sebuah “plungkeran” mobil ambulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar