Jumat, 02 Oktober 2009

Birokrasi "Gombal Mukiyo".


Birokrasi "Gombal Mukiyo".

((Ini bukan tulisan ilmiah, hanya gendhu-gendhu rasa untuk kalangan sendiri))

Sebenarnya saya sering tidak begitu berminat untuk berkomentar terhadap penyataan Presiden saya oleh karena seringnya beliau berkomentar. Tetapi sewaktu beliau menyangkut nama tetangga saya, akhirnya saya jadi kepingin gendhu-gendhu rasa.

Di kompas. “Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah” bahasa Inggrisnya adalah “Gombale Mukiyo”

Mukiyo, orangnya kumal, mandinya jarang2, rambutnya juga jarang disisir sehingga gondrong awul2an, giginya juga jarang sikatan, kathoknya kombor campur debu, kaosnya “tugel lengene”, warnanya tidak bisa disebutkan oleh karena warnanya campur aduk dengan debu, cat, oli, paslin, “lugut”, “tlutuh” dan lain2nya. Gaya pergaulannya “saenake dhewe”, kalau sekarang namanya semau gue atau menterenge dissosial, lah. Kalau berdebat “eyelane wagu” atau “waton ngeyel” atau kalau dengan bahasane njenengan namanya debat kusir. Dalam hal penampilan seorang yang hampir sama penampilannya dengan Mukiyo adalah Paijo Keple-keple, cuma si Paijo Keple-keple ini orangnya pendiam alias "klentrang-klentreng" sementara satu2nya orang yang dapat mengimbangi debatnya adalah Mbah Yes oleh karena sama2 pendebat kusir. Njenengan bisa membayangkan, kalau Mukiyonya seperti itu, terus gombalnya seperti apa ?
Semua orang tidak menginginkan kesulitan, semua orang menginginkan sesuatu yang baik, menginginkan sesuatu yang bermutu. Kalau saya senang memahami mutu dengan kombinasi “mangfangat” dan “ragad”. Manfaat yang sebesar2nya dengan biaya yang sekecil2nya. Itu yang saya fahami dengan sesuatu yang bermutu. Barang yang bermanfaat bagus dengan harga yang murah. “Nang ngendi dik ketemune sing kaya kuwe”. “Langka”. Mutu itu adalah sesuatu yang efisien efektif. Kalau menurut Pak Agus guru bahasa saya dulu (“sing bapane mas Toto Sujatmiko”) sangkih dan mangkus.
Dalam rangka untuk mendapatkan mutu yang baik (efisien efektif) maka ada jalur2 yang harus dilalui seperti survei, penetapan kebutuhan, penggambaran sket, etung2an volume, penawaran, penetapan pemenang dan lain2nya. “Ngarang”. Disinilah kemudian sudah terjadi bias yang pertama antara “kebutuhan akan manfaat yang diharapkan nanti dipenuhi” dengan “gambar yang merupakan patokan untuk mewujudkan harapan manfaat”. Bias selanjutnya adalah antara “patokan gambar untuk mewujudkan harapan manfaat” dengan “biaya untuk mewujudkan gambar”. Bias2 selanjutnya akan terjadi dengan lingkungan, gelombang ekonomi yang naik turun dan lain2nya. “Mbuh apa maning”.
Jadi, njenengan ora bakal bisa ngatasi umpamanya masalah pemoncolan wuwungan yang paling2 hanya satu setengah meter (alas segitiga) dengan panjang dua meter dua sisi, atau kalau dihitung perseginya adalah setengah kali alas kali tinggi kali dua sisi, sama dengan setengah kali satusetengah kali dua kali dua, ketemunya 3 meter persegi. Walaupun njenengan siap menambah bea pengganti. Walaupun juga seandainya ini dikerjakan (oleh ahlinya) juga tidak terlalu sulit dan walaupun akan bermanfaat terhadap empat kali dua meter persegi ditambah empat kali tiga meter persegi bersama dengan banyak manusia dibawahnya dalam kurun waktu sekian tahun. Oleh karena apa? “Gambar” yang seharusnya dapat mewujudkan pemenuhan kebutuhan manfaat yang pernah njenengan sampaikan “tidak begitu”.
Njenengan juga tidak bisa dan juga tidak boleh bilang pada saya mengapa ngurus urusan nomer dan surat saja demikian lama, padahal di banjaran juga banyak nomer, di kartu remi juga ada nomernya, surat di kantor pos juga banyak, ataupun anda bilang padahal manfaat untuk “pemejengan” dan lain2 sudah menunggu.
Sabar kang, ana aturane, durung wektune, ngko ngenteni nek wis rusak bae gawanen, nglayani masyarakat aja kiyeng2 ngko ndhak kancane ora komanan ngamal.
Nyong akhire tiru pak Presiden: “karang ya gombale mukiyo”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar