Sabtu, 07 November 2009
Data orang miskin & mental kere
Data orang miskin & mental kere
>>Tidak ada yang sulit kalau kita bersungguh2 dan berusaha berlaku adil<<
(untuk kalangan sendiri)
Tahun 2005. kalau kita hitung sampai sekarang sudah 4 tahun. Kalau bulannya awal, sekarang sudah hampir 5 tahun. Waktu ini sangat singkat seandainya digunakan untuk evolusi dinosaurus, tapi kalau waktu ini digunakan untuk validasi data, maka waktu sepanjang ini tidak boleh dikatakan singkat. Tapi demikianlah yang terjadi. Data orang miskin yang digunakan sampai sekarang ini masih mengacu data tahun 2005. Mengapa menjadi sedemikian lambat. Untuk kehati2an?
Padahal sebenarnya tidak begitu sulit menentukan siapa orang yang miskin. Orang awampun tahu. Kalau dengan sistimnya Pak Ustadz, catat saja orang2 yang tidak mampu membayar zakat fitrah. Ada 2 macam golongan miskin yang tidak mampu membayar zakat fitrah, yang satu memang betul2 miskin, yang kedua oleh karena orangnya sangat kikir alias dia masuk dalam kategori miskin rohani.
Kata “miskin rohani” atau dalam bahasa yang lebih kuno lagi adalah "mental kere" sebenarnya merupakan kata untuk menyudutkan seseorang ke dalam golongan sifat tercela, yang harapannya tidak ada orang yang mau masuk ke dalam golongan itu. Tetapi apa yang terjadi, ternyata orang yang miskin atau orang yang mau digolongkan miskin jumlahnya menjadi menggelembung. Bayangkan saja ada seorang pensiunan pegawai golongan IV atau kalau tidak golongan III ruang akhir, ikut meminta jatah beras miskin, Atau direktur institusi swasta masih juga ikut minta jatah beras miskin. Miskin menurut dia adalah orang yang masih kekurangan, dan siapa di dunia ini yang merasa sudah tidak kekurangan.
Awal saat ada program2 berkait miskin sebenarnya sudah sejak zaman pak harto dengan nama yang dihaluskan dalam istilah “desa tertinggal”, ada kriteria penentuan desa tertinggal di kala itu, seperti adanya pasar, adanya tempat pengobatan, sarana jalan, jarak dari pusat kota kecamatan dan lain2. BKKBN mengikuti model itu dengan istilah yang juga halus yaitu “keluarga prasejahtera”, ada proyek untuk itu yaitu pengentasan keluarga prasejahtera dengan program plesterisasi, kala itu zamannya pak yudo jatmiko dan pak ibnu subardono, kriteria tingkat keluarga menurut BKKBN adalah sebagai berikut :
1. anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut masing2
2. pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih
3. seluruh anggota memiliki pakaian yg berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah & bepergian
4. bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah
5. bila anak sakit dan / PUS ingin ber-KB dibawa ke sarana/ petugas kesehatan obat/ cara modern
6. anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing2
7. paling kurang sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ ikan/ telur sebagai lauk pauk
8. seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir
9. luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni rumah
10. seluruh anggota keluarga tiga bulan terakhir dlm keadaan sehat sehingga dpt melaksanakan tugas/ fungsi masing2
11. paling kurang satu orang anggota keluarga yg berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap
12. seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 th bisa baca tulisan latin
13. seluruh anak berusia 07-15 th bersekolah pada saat ini
14. bila anak hidup 2 atau lebih keluarga yang masih PUS saat ini memakai kontrasepsi
15. keluarga mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama
16. sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga
17. keluarga biasanya makan bersama paling kurang 1 kali sehari dan dimanfaatkan utk komunikasi antar anggota keluarga
18. keluarga biasanya ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya
19. keluarga mengadakan rekreasi bersama/ penyegaran di luar paling kurang sekali dalam 6 bulan
20. keluarga dapat memperoleh berita dari surat kabar/ radio/ tv/ majalah
21. anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
22. keluarga/ anggota keluarga secara teratur pada waktu tertentu dg sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masy. dlm bentuk materiil
23. kepala keluarga/ anggota keluarga aktif sbg pengurus perkumpulan/ yayasan/ institusi masyarakat
keluarga yang belum mencapai pertanyaan 1 adalah keluarga prasejahtera, keluarga yang belum dapat mencapai level pertanyaan 6 adalah keluarga sejahtera 1, keluarga yang belum dapat mencapai pertanyaan level 15 adalah keluarga sejahtera 2, keluarga yang belum dapat mencapai pertanyaan level 22 adalah keluarga sejahtera 3, keluarga yang sudah dapat mencapai pertanyaan level 22 adalah keluarga sejahtera 3 plus.
selanjutnya setelah pak harto lengser terjadi krisis ekonomi sehingga banyak orang jatuh miskin, kesehatan ikut2 menangani orang miskin ini dengan program JPSBK. Oleh karena JPSBK merupakan program yang pertama penanganan kemiskinan di bidang kesehatan maka nama tersebut masih terkenal sampai sekarang, Kriteria miskin menurut JPSBK pada waktu itu adalah sebagai berikut :
KRITERIA KELUARGA MISKIN MENURUT JPSBK
1. keluarga yang makan kurang dari 2 kali
2. keluarga yang tidak mampu berobat ke tempat pengobatan terdekat
3. keluarga yang anak usia sekolah di dalamnya tidak dapat bersekolah
4. keluarga yang kepala keluarga mengalami phk
JPSBK pada waktu itu mengacu dengan satuan keluarga sebagimana BKKBN, sehingga di kala itu, di tingkat desa dan kecamatan kedua kriteria digabungkan untuk bersama2 mendapatkan gambaran keluarga miskin yang lebih akurat.
Pendataan miskin tahun 1998 dilakukan dengan kerjasama kader, perangkat desa, petugas plkb, bidan desa dan disyahkan daftarnya dengan mekanisme validasi data yang di situ ada tim dari tokoh masyarakat, perangkat desa, bidan desa, plkb, petugas kecamatan dan kades sebagai penanggung jawab.
Sebenarnya sejak jaman IDT orang2 yang ingin menyalahgunakan sudah pada “nginceng” untuk memasukkan diri atau anggota keluarganya atau kelompoknya untuk dapat masuk kedalam golongan orang yang dapat bantuan. Pada saat JPS tahun2 pertama belum begitu banyak orang ingin menjadi golongan JPS, tapi setelah selanjutnya melihat enaknya jadi masuk jadi golongan JPS dimana dapat berobat dengan tidak membayar sementara yang lain membayar 3000 rupiah di kala itu, dapat bantuan gizi, dapat dirawat di rumahsakit bebas biaya, maka kemudian berbondong2lah orang untuk meminta di JPS-kan. Apalagi pada waktu itu juga ada program pembagian raskin (beras miskin) dan sebagainya yang dibagikan oleh kecamatan dan desa. Masing2 yang pegang kuasa men-JPS-kan memegang kendali untuk memasukkan anggota keluarga ke dalam anggota JPS. Kalau JPS raskin dalam kekuasaan Rt, Rw, Pamong, dan berakhirnya di Kades, kalau JPS kesehatan dalam kekuasaan dari kader kesehatan, Rt, Rw, Pamong, Bidan desa, dan akhirnya di Kepala Puskesmas, penguasa terakhir Kepala Puskesmas karena dia yang menerbitkan kartu.
Data JPS raskin bisa sama atau bisa tidak sama dengan data JPS Kesehatan, tapi kebanyakan tidak sama, dan kebanyakan raskin itu dibagi rata semua penduduk kecuali orang2 yang masih punya iman yang kuat yang tidak mau menerima bagian “bagi rata” beras miskin.
Selanjutnya, di tahun 2004 akhir, dianggap sebuah ketidakbaikan seandainya puskesmas mengurusi keanggotaan JPS dan sekaligus pelayanan JPS. Padahal sebenarnya puskesmas hanya menerima data dari tim desa yang terdiri dari berbagai macam komponen masyarakat. Maka berpindahlah era keanggotaan JPS diurus oleh Askes, termasuk juga beberapa kegiatan yang dulu diserahkan puskesmas kemudian dikerjakan oleh pusat maupun daerah seperti contohnya pengadaan obat oleh pusat yang ternyata tidak sesuai dengan yang dibutuhkan puskesmas dan juga dalam batas hampir kadaluarsa dan juga pengadaan PMT oleh pusat dan daerah yang ternyata tidak sesuai dengan yang biasa dimakan oleh balita gizi buruk dan tanggalnyapun juga mepet2 kadaluarsa. Sedemikian banyak orang mau menjadi miskin dan sedemikian banyak pula orang yang mau beramal menyalurkan bantuan untuk orang miskin.
Pencetakan kartu kepesertaan Askeskin (nama baru JPSBK) oleh Askes tidak kunjung selesai. Maklum petugas di kantor Askeskin jumlahnya terbatas (Kabupaten Tegal bersama2 rayahan dengan Kabupaten lain se wilayah Askes Pekalongan) dan ada faktor yang lain seperti data yang dipakai oleh Askes pada waktu itu adalah data terakhir keluarga miskin di Puskesmas2 yang waktu itu data masih bentuk tulisan tangan (waktu itu komputer masih barang mahal dan belum semua petugas dapat mengoperasionalkannya), sehingga Askes harus memindahkannya menjadi data dalam komputer (pekerjaan yang tidak ringan kalau se wilayah pekalongan dikerjakan sendiri). Ada juga kasus data “ketlingsut” sehingga bisa terjadi beberapa desa tidak mendapatkan kartu sama sekali atau hanya separonya atau seperempatnya. Sedemikian “kisruhnya sehingga kemudian ada keputusan Puskesmas harus melayani pasien dengan kartu Askeskin yang baru, kartu JPS baru atau kartu JPS lama atau bahkan terhadap pasien yang membawa SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari Kepala Desa.
Penyaluran dana-pun juga tidak begitu lancar kalau tidak boleh dikatakan macet. Waktu itulah masa2 sulit. Klaim Askeskin untuk pelayanan rawat inap puskesmas belum terbayar selama hampir 2 tahun, sama juga dengan rumah sakit kecil dan besar pada saat itu. Lebih sulitnya lagi di Kabupaten Tegal pada saat itu juga terjadi peralihan aturan yang mengharuskan semua penghasilan (termasuk hasil pelayanan rawat inap yang membutuhkan operasional langsung untuk makan pasien) disetor ke Kas Daerah dan untuk segala kegiatan (termasuk untuk makan pasien) dirancang dalam operasional puskesmas (yang biasanya mulai cair dananya paling cepat bulan juni tahun yang bersangkutan). Pada waktu itu dana baru mulai cair seingat saya bulan oktober tahun bersangkutan.
Sedemikian banyak orang rayahan jadi miskin sehingga selanjutnya BPS melakukan penyaringan orang miskin, sendiri, tanpa tim, tanpa kades, tanpa tokoh masyarakat, mungkin dengan pamong (walaupun mungkin pamong tidak tahu acara sebenarnya yang dilakukan), kriteria disembunyikan, tidak banyak orang tahu dan penentu hasilnya adalah pusat statistik untuk menghindari pengkambinghitaman perangkat pendata, hasilnya dalam bentuk daftar keluarga yang mendapat BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang banyak dikecam oleh intelektual, ahli2 kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan bahkan juga Kades yang tidak tahu menahu tetapi menanggung akibat buruknya. Selanjutnya kades diikutsertakan/ diperbolehkan mengajukan revisi bersama dengan perangkatnya. Menurut kemauan Kades seluruh atau paling tidak sebanyak2nya masyarakatnya masuk anggota miskin sehingga dapat bantuan, tetapi pusat menentukan persenan/ kuota orang miskin disuatu desa. Akhirnya data yang diajukan kades dipotong tidak semenamena, ada yang dipotong anaknya yang masuk KK-nya, ada yang dipotong KK-nya yang masuk anaknya, ada yang dipotong RW yang terletak didaftar paling bawah. Kisruh lagi.
Akhirnya diputus dengan SK Bupati dan dicetaklah kartu kepesertaan JAMKESMAS (nama yang baru lagi setelah Askeskin) oleh askes yang merupakan bagian pencetak
Kartu. Puskesmas diberi kopian Database yang formatnya “mosak masik”,penomoran Rt Rw-nya tak seragam, format tanggal lahir tak seragam, juga hubungan keluarga tak semua diisi. Kartu dicetak tanpa ada nama KK sehingga membingungkan, pasien ini anaknya siapa.
Sehubungan dengan jeleknya pendataan yang dilakukan maka tidak valid pula orang yang mendapat kartu sehingga pada waktu kartu diserahkan ke desa, Kepala Desa tidak berani membagikan ke orang2 yang sudah tertulis di kartu oleh karena tidak sesuai yang diharapkan oleh desa. Ekses selanjutnya adalah kartu tidak dibagikan ke “by name by address” (kata yang dibanggakan oleh bebeapa orang), toh berobat di puskesmas juga sudah gratis, kartu ada yang diambil ke pamong kalau nanti pasien sakit dan perlu dirawat di rumahsakit, kalau perlu diambilkan kartunya warga lain yang namanya hampir sama atau umur2annya hampir sama sekaligus dicaripinjamkan kartu KK dari tentangga yang hampir sama atau dibuatkan SKTM oleh karena masih ada peluang untuk diterima di rumahsakit daerah.
Terus2ane (selanjutnya) oleh karena kartu jamkesmas tidak dibagikan by name by address menyebabkan banyak orang yang sebenarnya berhak atas kartu, terpaksa memakai SKTM yang akhirnya berujung pembayaran klaim perawatan yang harusnya dibayar oleh JAMKESMAS tapi yang membayar Pemerintah Kabupaten. Padahal sedemikian banyaknya jumlah orang yang memakai SKTM tersebut.
Wah malah akhir2e saya jadi bingung.
Ini nanti yang terakhir akan beredar data orang miskin tahun 2008, saya masih sangsi hasilnya tetep akan “dipaido” oleh masyarakat karena pendataanya “ndhelik2”, bisa saja nanti masyarakat bilang datanya "ngarang" oleh karena mereka tidak pernah tahu petugas pendata datang, tidak ditransparankan dengan pemuka2 masyarakat di masing2 tempat dan seterusnya tunggu kisruhnya lagi.
Priben Wak ?
Jarene Pakde Jarwo : “Mulane sampeyan ari kerja kuwe sadurunge kudu ditatani disit cara2ne, standare, kriteriane, terus dicritakna nang sedulur kareben kabeh bareng2 melu nyengkuyung gawean mau, ditandangi bareng2 kalawan temen2 alias dengan sungguh2, terus hasile dimusyawarohna karo sedulur2 (maning) adedasar adil marang sapada2, aja pada rayahan pengin ulih bagean sing akeh najan ora kumecap na lesanmu, SPJ-ne gawenen gampang, aja diangel2, aja gonta-ganti format (eling sabda pandhita ratu datan kena wola-wali) mundhak mbingungake kawula cilik, aja dumeh kuwasa gawe acara, melas, kabeh padha dene nyambut gawe, nek sampeyan gawe angel, malah mengko ora rampung gaweane, sampeyan malah mlebu golongane wong sing ngalang2i hak-e manungsa. Cukup, sesuk disambung maneh.”
Matur nuwun, wak !
Nyong malah ngapalna : “By name by address, By name by address, By name by address, By name by address, By name by address, By name by address, By name by address, sing durung klakon2 benere ing zaman kang wis maju kaya ing wayah iki”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar